Kamis, 15 Desember 2016

Kita hanya dua insan yang rumit

Kita hanya dua insan yang rumit, yang telah merasa nyaman satu sama lain. Dan ketika dengan berani sekaligus lancang aku menanyakan tentang bagaimana hubungan kita yang sebenarnya, kau hanya menatapku dengan senyum yang pastinya akan membuat nyaliku menciut dan melupakan apa yang baru saja aku tanyakan padamu. Dan dilain kesempatan saat aku  tak menanyakannya lagi, kau memberiku sedikit penjelasan bahwa kita tak perlu mempermasalahkan apa yang kita jalani sekarang. "cukup jalani saja apa yang telah kita jalani selama ini" yah setidaknya kata-kata itu sedikit menenangkan bagiku dan sekaligus membuatku menyerah akan menaruh harapan lebih akan hubungan kita.

Namun, kini saat aku sudah menyerah dan bahkan melupakan bagaimana kebingunganku akan hubungan kita. Kau malah mengungkit hal-hal yang sudah dengan susah payah aku lupakan. Kini aku bahkan tak yakin dengan perasaanku saat ini padamu. Sejujurnya masih ada hal indah yang terkunci rapat dalam hati kecilku namun aku tak yakin membukanya. Aku tak lagi yakin akan rasa yang pernah ada diantara kita -yah, lebih tepatnya rasa yang hadir dariku untukmu.

Sekarang aku tak berani memunculkan kembali rasa itu, bahkan sekedar membayangkan rasa itu terusik dari tempatnya yang telah aku kunci rapat selama ini pun, aku takut. Untuk saat ini aku hanya bisa mempertahankan apa yang telah kita jalani. Perihal membuka kembali hatiku padamu, biarkan seiring waktu berjalan kita akan menemukan jawabannya. Bagiku saat ini mempertahankan apa yang telah kita bangun adalah hal yang utama. Terimakasih telah hadir disetiap episode kehidupanku.

Rabu, 14 Desember 2016

Gadis dengan Mata Sembab


Langit dini hari selalu memikatnya bahkan sejak ia masih kanak-kanak. Ia tak pernah luput dari shalat malamnya. Disetiap sepertiga malam terhirnya yang ia habiskan setiap malam tak pernah sekalipun ia tak meneteskan air mata. Air mata yang senantiasa merindukan Rahmat Sang Kekasihnya. Air mata hangat yang senantiasa membasahi sajadah dimana ia bersujud.
       
Yah, itulah dia sang gadis dengan mata sembab karena begitu merindukan Kekasihnya. Mata yang senantiasa meneduhkan hati siapapun yang memandangnya. Mata yang selalu sembab di akhir sepertiga malamnya. Walaupun dengan mata sembabnya namun akan selalu meneduhkan hati siapapun yang memandangnya. Ia tak pernah luput untuk berkhalwat dengan Tuhannya.


Setiap malam itu pula ia senantiasa membuka jendela sambil memandang sejenak ke langit. Menyaksikan langit dini hari dari balik jendela kamarnya yang terletak dilantai dua rumah bergaya minimalis. Memandangi bulan purnama dengan sinarnya yang keemasan atau hanya sekedar memandangi gugusan bintang-bintang jika tak tertutup awan. Inilah salah satu yang menjadikannya selalu terpukau dengan ciptaan-NYA.

Sejenak setelah ia melanjutkan membaca ayat-ayat suci-NYA, ia akan memandangi langit dengan pesonanya saat dini hari. Saat matanya memandangi langit dini hari ia tak pernah lupa sambil mengucapkan kalimat-kalimat tasbih. Sesekali ia memejamkan mata yang menandakan betapa ia sangat bersyukur dan takjub dengan segala ciptaan-nya. Bahkan tak jarang ia meneteskan air mata kerinduannya.

Pemandangan langit saat dini hari semakin memikatnya disetiap malam-malamnya. Bahkan kadang ia baru beranjak dari tempatnya ketika adzan subuh menjelang. Pemandangan langit dengan gugusan bintang-bintang dengan sinar rembulan sedikit-sedikit berganti dengan cahaya orange menjadi kekuningan saat fajar tiba akan terus membuatnya kagum dan takjub dengan segala ciptaan-Nya.

Miftah Amatullah Sulaiman

14 Desember 2016

Jumat, 09 Desember 2016

Jangan Menyimpan Marah Lebih dari 5 Menit

Banyak hal yang mungkin tidak kita tahu tentang kehidupan, Dan juga tentang mereka yang menjalani kehidupan. Namun satu yang aku pahami kita dapat belajar dari kehidupan.
Seperti halnya hari ini, saat aku 'dipaksa' menyaksikan adegan yang terjadi antara sepasang suami-istri yang entah karena apa sang istri malah marah pada suaminya di tempat yang 'tak semestinya' terjadi hal-hal seperti itu. Namun jangan tanyakan padaku apa yang membuat sang istri marah pada suaminya, karena aku tak tahu dan aku tak ingin tahu.

Bukan karena aku kelebihan waktu hingga memperhatikan mereka atau bahkan kurang kerjaan sehingga harus mengurusi mereka. Bukan karena itu, Karena aku juga bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain.
Hanya ingin sedikit berbagi hikmah dari apa yang terjadi disekitar kita. Mungkin selama ini jika kita menyaksikan hal-hal yang serupa dengan itu kita tidak terlalu peduli atau bahkan tak ingin memperhatikannya.
Memang menjadi fitrah manusia memiliki emosi marah atau kesal. Namun aku hanya ingin mengatakan bahwa kita boleh saja marah atau kesal namun tak perlulah kita tampakkan pada orang diluar sana yang tak perlu tahu. Apalagi hal-hal yang memang tak semestinya orang lain tahu tentang itu. 

Bukankah Islam sangat memperhatikan setiap sendi kehidupan manusia, bahkan saat marah atau kesal pun juga tak luput dari perhatian Islam. Sebagiamana sabda Rasulullah SAW yang mengajarkan pada kita bagaimana mengendalikan diri saat marah dengan mengubah posisi bahkan sampai wudhu untuk menenangkan diri.
Kita sendiri sudah sangat hafal dengan hadist ini, namun dalam pelaksanaannya kita malah sering 'menyimpannya rapat-rapat' saat kita marah.

So, mari bermuhasabah diri dan terus memperbaiki diri dimulai dari hal-hal kecil yang mungkin sering kita anggap sepele, misalnya mengelola emosi. Bukan kita dilarang menggunakan emosi seperti marah, namun kita harus tahu apa dampak yang akan kita terima setelah marah.
Dan juga yang paling penting jangan menyimpan marah lebih dari 5 menit. Karena emosi kita akan berpengaruh pada apa yang akan kita lakukan setelahnya. Terutama dipagi hari jangan marah-marah jika kita tak ingin satu hari itu kacau hingga kita istirahat.


Miftah Amatullah Sulaiman
8 Desember 2016

Sabtu, 26 November 2016

Setelah Hujan

Hujan,
Datang dengan sejuta keindahan dan ketentramannya.
Memaksaku untuk membuka lebaran yang sebenarnya telah lama aku tutup.
Memaksaku kembali kemasa itu.
Sebenarnya kau tak memiliki kenangan apa-apa saat hujan turun, tapi aku memiliki kenangan setelahnya.
Mengingatnya kadang membuatku tertawa, mengingat semua kepolosanku. Tapi tak bisa ku pungkiri saat-saat itu juga akan membawa kenangan luka bersamanya.
Kenangan saat-saat aku pertama bersamanya, saat-saat aku merasa risih karena keberadaannya.
Namun, Aku tetap berterimakasih pada hujan.
Tidak, sebenanrnya bukan pada hujannya tapi kepada waktu setelahnya.
Yang mengajarkan ku bahwa disetiap kejadian akan menyisahkan kenangan.
Aku berterimakasih kepada malam.
Tidak juga, sebenarnya bukan pada malam tapi pada gelap yang hanya disinari rembulan yang tak begitu terang.
Yang mengajarkannku bagaimana memancarkan sinar positif bukan hanya pada diri sendiri.
Aku berterimakasih pada jam dinding uang tak hentinya berdetak,
Tidak, bukan pasa jam dindingnya tapi pada waktu yang telah berlalu dan akn terus berjalan.
Aku berterimakasih untuk masa itu,yang telah mempertemukanku dengannya.
Yang mengajarkanku puzzel lain dari kehidupan ini, yang membantuku menorehkan pena mengabadikan masa itu dalam untaian kata-kata yang tak beraturan ini.
Yang mengajarkanku untuk terus bertumbuh, meski aku kadang bertingkah sok dewasa mengomentari apa yang aku dengar.
Yang mengajarkanku bagaimana perbedaan warna pelangi yang muncul setelah hujan justru menjadikannya indah.
Dan… untuk semuanya TERIMAKASIH
Tapi, I promise setelah hujan berhenti aku akan menutup kembali lembaran itu. Sebagaimana cerita diantara kita yang telah SELESAI.



Ayaka Miharu 
(Miftah Amatullah)
26 November 2016

Minggu, 06 November 2016

Perihal membuka kembali hatiku padamu

Kita hanya dua insan yang rumit yang hanya merasa nyaman satu sama lain. Dan ketika dengan berani sekaligus lancang aku menanyakan tentang bagaimana hubungan kita yang sebenarnya dan kau hanya menatapku dengan senyum yang pastinya akan membuat menciut dan melupakan apa yang baru saja aku tanyakan padamu.

Dan di lain kesempatan yang tak aku tanyakan lagi kau memberiku sedikit penjelasan bahwa kita tak perlu mempermasalahkan apa yang kita jalani sekarang. "cukup jalani saja apa yang telah kita jalani selama ini" yah setidaknya kata-kata itu sedikit menenangkan bagiku dan sekaligus membuatku menyerah akan menaruh harapan lebih akan hubungan kita.


Namun, kini aku sudah menyerah dan bahkan melupakan bagaimana kebingunganku akan hubungan kita. Yang terparah kau malah mengungkit hal-hal yang sudah dengan susah payah aku lupakan. Kini aku bahkan tak yakin dengan perasaanku saat ini padamu. Sejujurnya masih ada hal indah yang terkunci rapat dalam hati kecilku namun aku tak yakin membukanya. Aku tak lagi yakin akan rasa yang pernah ada diantara kita -yah, lebih tepatnya rasa yang hadir dari diriku padamu.


Sekarang aku tak berani memunculkan kembali rasa itu, bahkan sekedar membayangkan rasa itu terusik dari tempatnya yang telah aku kunci rapat selama ini aku takut. Untuk saat ini aku hanya bisa mempertahankan apa yang telah kita jalani selama ini. Perihal membuka kembali hatiku padamu, biarkan seiring waktu berjalan kita akan menemukan jawabannya. Bagiku saat ini mempertahankan apa yang selama ini telah kita bangun adalah hal yang utama.



Miftah Amatullah Sulaiman

6 november 2016

Sabtu, 08 Oktober 2016

Aku dengan Segenap Perjuanganku

Bukannya aku tak bisa move on dari mu. Hanya saja aku butuh waktu untuk menerima semua ini. bukannya aku menyiksa diri karena ditinggal olehmu. Hanya saja mungkin kau tak bisa lihat bagaimana perasaanku yang mempengaruhi nafsu makanku. Bukan ku tak rela jika kau lebih memilih bersamanya karena aku sadar kita sudah lama selesai. Hanya saja biarkan aku mengatur ulang perasaanku yang mungkin butuh di install ulang. Kita memang sudah selesai, namun bagiku kau pernah ada dan tak mungkin bisa aku delete.

Meskipun begitu kau tak perlu risau dengan perasaanku saat ini. kau tak perlu cemas dengan semua apa yang aku alam sat ini. seperti yang kau katakana kita telah selesai. Jadi biarkan aku dengan perasaanku saat ini. biarkan aku yang akan mengatur ulang semuanya. Kau tak perlu cemas karena aku kan mengatur semuanya. Kau hanya perlu berbahagia dengan pilihanmu saat ini dan aku juga akan bahagia dengan hidupku saat ini.

Meski aku tak tahu entah sampai kapan aku akan selesai menginstal perasaan-perassan baru tanpamu. Biarkan saja semuanya berlalu antara kita. Biarkan saja waktu yang menyelesaikannnya antara kita. Jika memang nanti saat hari bahagiamu aku bisa hadir maka aku akan hadir, namun jangan kau paksa aku. Karena aku bukanlah orang yang dengan mudahnya melupakan hal-hal yang telah usah diantara kita. Namun aku juga bukan orang yang hanya berlarut-larut dalam masalah yang telah usai. Yang perlu kau tahu aku bukanlah pendendam. Aku juga bukanlah tipe senior kampus yang akan melampiaskan rasa sakitnya yang lalu kepada juniornya yang tak tahu apa-apa.

Dan jika hari itu tiba, aku akan hadir dan memberikan ucapan selamat kepadamu dan kepadanya. Jangan menatapku terlalu dalam seperti yang sering kau lakukan padaku. Kau cukup tersenyum tulus dan itu sudah cukup bagiku. Meski aku tak pernah tahu kapan senyum itu akan memudar dari mataku. Yah, inilah aku dengan segala perasaanku pada cerita yang telah usai antara kita. Jujur saja aku bukanlah orang yang pura-pura tegar didepanmu. Aku bukan orang yang pandai menyimpan semua luka dihati. Namun inilah aku dengan segenap perjuanganku. Dan ku harap kau bisa menghargai itu.


Miftah Amatullah Sulaiman

8 Oktober 2016

Jumat, 07 Oktober 2016

Anak Gaul, Katanya....

Terkadang orang dibuat bingung dengan tingkah kita yang menganggap diri anak zaman sekarang. Selalu ikut tren zaman. Biasanya kita menyebut diri dengan anak gaul. Kita mengatakan diri gaul ketika bisa dengan santai bergaul dengan siapa saja. Bisa kesana-kemari tanpa ada yang mengatur. Keluyuran malam-malam entah kemana. Bahkan pocong dan kuntilanak sudah pulang kita masih belum pulang juga. Tak jarang diantara kita ada yang menjadi manusia kelelawar. Siang tiduurr terus seharian, entar malam baru bangun keluyuran entah kemana.

Yah, inilah potret masyarakat kita saat ini. Khusunya kita para muda-mudi yang masih di bangku sekolah atau universitas. Kita menganggap ini wajar sebagai ajang pencarian jati diri. Bahkan merasa kurang update ketika tidak bisa mengikuti pola hidup teman-teman yang lebih modis dan selalu fresh akan hal-hal aneh yang baru muncul. Bahkan seringkali mengganggap bahwa kita yang tidak dapat mengikuti perkembangan zaman adalah manusia primitive. Kita menyatakan diri gaul ketika aktif di semua jejaring social. Entah itu FB, twitter, line, IG, WA, dll. Semua dijajalin. Dan belum sah rasanya jika dalam satu hari tidak selfie. Sebelum makan selfie, sudah mandi selfie, berangkat kerja/sekolah selfie, di mall selfie, ditrotoar selfi, bahkan sampai-sampai di wc-pun juga selfie. Dimanapun dan kapanpun rasanya ini kegitan wajib. (yang merasa kesindir ngak usah marah, tapi kalua ada yah, syukur. Itung-itung sebagai bahan introsfeksi aja :D)

Mungkin inilah yang menjadi salah satu pembeda antara zaman dulu dan zaman sekarang. Dulu, sebelum makan ambil posisi terbaik duduk terus nundukin kepala seraya berdo’a. sekarang, sebelum makan juga sama-sama ambil posisi terbaik. Pas dapat posisinya bukannya berdo’a, eehhh… malah selfie dulu. Sudah itu bukannya langsung makan, tapi foto hasil selfie tadi belum sah rasanya kalau belum di upload ke semua sosmed. Tanpa telupakan lengkap dengan keterangan-keterangannya, misalnya “lagi makan nie all” atau “lunch with kesayangan” atau apalah yang semacam dengan itu. Emangnya situ kira, setelah upload di sosmed orang-orang pada datang buat bayarin makanannya. Nggak bakal, percaya sama saya. (kalau ngak percaya, coba aja…:D hihihihihi)

Jika kita jajalin, tempat-tempat makan yang kebanyakan diisi oleh kaulah muda pernah kah kita melihat kita mengajak orangtua kita untuk sekedar menikmati suasana makan saat itu. Yah mungkin ada, tapi jarang. Kebanyakan kita-kita yang suka nongka-nongki (nongkrong kanan-nongkrong kiri, entah dimanapun tempatnya) bareng teman-teman atau bahkan orang spesialnya. Tak bisa dipungkiri diantara itu uang yang dihabiskan adalah subsidi dari orang tua, walaupun juga ada yang hasil sendiri. Tapi sadarkah kita siapa yang paling pantas untuk pertama kita bahagiakan.

Yah, inilah fenomena yang kita jumpai sehari-hari dan kadang kita tak terlalu menghiraukannya. Bagi sebagian orang, mungkin ini adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun tak kita sadari dapat menimbulkan efek yang begitu besar.



Miftah Amatullah Sulaiman || 7 Oktober 2016

Selasa, 13 September 2016

Salah Satu Cara Memperingatkan Diriku

Tak jarang yang berpandangan negative saat kita berusaha berbuat baik. Bahkan tak jarang yang berujar “akh, paling dia OMDO (omong doang, tapi bukti NOL)” atau bahkan ada yang berujar “sok bijak lo”. Jujur saja bagiku lebih mudah mengatakan kata-kata penyemangat atau bahkan kata-kata motivasi pada orang lain atau sekedar jadi postingan-postingan di media sosialku karena mungkin aku pernah membaca atau mendengar hal yang serupa.
Namun, kalian juga tahu terkadang kata-kata lebih mudah ketika diucapkan daripada saat dikerjakan. Dan jika suatu saat kalian menendapati sikapku bahkan tak sesuai dengan apa yang biasa aku ucapkan ataupun aku tulis janganlah kau kecewa ataupun menjauhiku karena itu. Aku juga manusia biasa yang tak luput dari lupa dan salah. Jika kau menemukanku dalam keadaan yang bertentangan dengan kata-kataku, ingatkanlah aku dan jangan menghakimiku bahwa aku hanya OMDO. Aku mengatakan ini bukan berarti karena aku tak bisa mempertanggung jawabkan kata-kataku. Hanya saja, walau bagaimanapun aku tetap saja manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan dosa.
Jika kalian mendapati postingan-postinganku yang bernada “sok” positif atau bijaksana, aku bukannya pamer atau bahkan mau dikatakan lebih baik. Bukan. sama sekali bukan untuk itu. Jika ada yang berkata “Jangan dengan mudah menilai buku dari sampulnya saja” begitupun denganku. Jangan dengan mudahnya menyimpulkan hanya karena postingan-postinganku.
Karena mungkin tak banyak yang memahami semua itu adalah salah satu caraku memperingatkan diriku yang sering lupa. Jika ada yang bertanya: kenapa ku tak menuliskannya dibuku saja sebagai catatan pribadi dan mengapa mesti di media sosia? Jangan dengan mudahnya menyimpulkan hal-hal yang negative. Hal ini aku lakukan karena selain menjadi catatan pribadi aku juga ingin orang lain mengingatnya untukku, sehingga bukan hanya aku yang bisa mengamalkannya. Barangkali saja ada yang ‘tak sengaja’ melihatnya lalu dia mendapat hal yang ‘baik’ dari sana, semoga saja Allah menjadikan itu sebagai salah satu penghapus untuk kesalahan-kesalahanku yang sudah tak terkira lagi.
So, kita jangan mudah men-judge orang lain yang berbuat salah dengan penilaian yang kita lihat pada saat ini saja, karena kita tak tahu seberapa besar dia telah berusaha untuk sampai pada tahap itu. Dukung dan do’akan mereka yang senantisa berusaha memperbaiki diri, dan do’akan lebih banyak untuk mereka yang masih seperjuangan dengan kita dalam hal perbaikan diri. karena do'a yang terucap akan kembali pada siapa yang berdo'a.

Miftah Amatullah Sulaiman

13 September 2016

Minggu, 04 September 2016

Jadi Siswa Mesti Tahu Diri, Jadi Guru Mesti Introspeksi Diri

Meski hari ini bukan hari pertamaku jadi mahasiswa PPL, tapi aku akan sedikit berbagi bagaimana rasanya jadi praktikan PPL.
Hari pertama masuk kelas saat resmi menjadi mahasiswa PPL, dan tugas paling pertama adalah mengawas ulangan harian mapel Matematika kelas XI MIA (dulu IPA). Dan, banyak kejutan yang terjadi. Mulai dari siswa yang ‘sangat’ aktif –saking aktifnya, malah tidak bisa diam. Serta kreatif dan berjiwa seni tinggi –saking kreatif dan berjiwa seninya, didepan soal matematika tapi yang dikerja malah kaigrafi (untung kaligrafi dek, masih mending daripada gambar cewek khayalan yang mungkin tidak pernah nyata, hehehehe).
Semua tidak hanya sampai disitu saja. Memang yah, yang namanya karaker dan kepribadian orang itu mengagumkan. Banyak hal-hal unik yang tak terduga dari orang-orang baru yang kita temui. Saat jadwal mengawas di kelas pertama, awalnya siswa-nya masih adem-adem dan itu berlangsung sekitar 10 menit awal. Setelah 10 menit sampai menit terakhir barulah semua terungkap (kayaknya kita juga dulu gitu yah, hihihi). Lanjut, mengawas untuk kelas kedua, 10 menit awal malah lebih tenang dari kelas yang pertama. Dan ini masih bertahan cukup lama. Tapi…. Setelah 20 menit terakhir,Ya Allah…. Dosa apa yang dulu aku lakukan pada guruku (sambil ngingat dosa-dosa saat masih jadi siswa ). Apa yang aku alami dan rasakan saat pertama sebagai praktikan PPL mungkin masih mending (ngarep sedikit lebih baik) dari pada apa guruku dulu.
Jika ada yang bertanya “apa hubungannya kamu ngajar dengan dosa kamu saat jadi siswa?” aku jawab nih yaa…. Aku sekarang berada di posisi yang sama dengan guruku yaitu pendidik (meskipun baru belajar) tapi, aku memiliki beberapa tugas yang sama salah satunya yah, mendidik. Sekarang aku paham kenapa menjadi guru adalah salah satu profesi termulia, karena itu tanggung jawabnya berat coy. Pulangnya pikIr-pikir ulang kalua mau jadi guru dan siswanya kayak mereka (bukannya nyerah sih, Cuma introspeksi diri aja). Disinilah kita harus sadar peranan kita, jika jadi siswa mesti tau diri, tau aturan dan tau bagaimana berbakti bukan Cuma jadi sumber masalah. Ketika kita jadi pendidik metinya kita intropeksi diri, sudah benarkah kita memperlakukan peserta didik kita? sudah sesuaikah cara kita memperlakukannya dengan apa yang dia butuhkan? Dan semua itu butuh proses belajar.
Benar jika ada yang mengatakan pelajaran bukan hanya diperoleh di sekolah, tapi aku buktikan bahwa itu tidak selamanya benar. Karena dari sekolah inilah aku bahkan menyadari dosa-dosa yang pernah aku lakukan pada guruku. Benar kata salah satu motivator favoritku Ibrahim L. Fiqih “apa yang kamu peroleh hari ini adalah apa yang kamu lakukan kemarin”, dan bisa jadi apa yang aku terima dari siswa adalah akibat bagaiman aku meperlakukan guruku dulu. Untuk bapak/ibu guruku semuanya maaf sudah menyusahkan, dan terima kasih atas apa yang kau ajarkan. :3
Banyak pelajaran yang aku peroleh, baik saat aku menjadi siswa ataupun saat aku jadi praktikan PPL dan semua itu berasal dari SEKOLAH. So, bagi kita yang masih ‘kurang ajar’ sama guru-guru kita mari berbenah diri, bukan hanya karena kita yang nantinya menjadi pendidik (aamiin) tapi karena kita berterim kasih kepada guru kita. Jadi hargailah hal sekecil apapun yang kita terima dari orang lain sebagai pelajaran yang berharga. Juga, saat disekolah jadilah siswa yang patuh pada guru terlebih saat dirumah jadilah anak yang membanggakan bagi orang tua.
Semoga apa yang kita berikan saat ini nantinya bisa menjadi amal jariah kelak, aamiin. Do’akan saya juga semoga menjadi anak yang bermanfaat bagi orangtua, agama, bangsa dan dunia. Aamiin.

Miftah Amatullah Sulaiman
4 September 2016

Kuperingatkan Hatiku

Ada sedikit penantian saat kamu tidak langsung membalas chat yang kukirimkan terakhir kali. Menebak apakah kamu akan membalasnya atau hanya...